Senin, 02 Desember 2013

Proses Upacara Pernikahan Suku Bugis





A.    Latar Belakang
Secara garis besar masyarakat Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Khusus masyarakat suku Bugis, pada awalnya hanya mengenal suatu aliran kepercayaan yang sifatnya animisme yang biasa sebagai kebudayaan asli. Setelah kebudayaan India (Hindu) masul ke wilayah nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan maka masyarakat Sulawesi Selatan menjadi penganut agama monoisme. Kemudian Islam masuk sekitar abad ke-13 yang menyebabkan terjadinya perpaduan antara ajaran agama Islam dengan ajaran agama Hindu, bahkan tidak terlepas dari kepercayaan leluhur tradisional yang bersifat animism yang dianggap sebagai kebudayaan asli.
Proses islamisasi berlangsung secara terus menerus dengan pendekatan persuasive terhadap kepercayaan leluhur dan ajaran Hindu. Sehingga penerimaan ajaran agama Islam oleh penganut kepercayaan animisme dan ajaran Hindu berlangsung dengan cepat dan cukup mudah. Hal ini terlihat dengan sangat jelas pada prosesi perkawinan adat masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan pada acara-acara tradisi lainnya.
Prosesi pernikahan yang biasa dikenal dengan tudang botting/ tud boti (dalam bahasa Bugis) atau duduk pengantin hal ini bukan hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang suami-istri tetapi juga menyatukan dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai perempuan. Penyatuan keluarga besar keedua belah pihak tersebut dalam bahasa Bugis disebut mappasilorongeng/mpsiloroeg atau saling menghubungkan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Begitu pentingnya pernikahan sehingga dikalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dikenal dengan ungkapan yang dialamatkan bagi orang yang belum mendapatkan jodoh untuk elangsungkan pernikahannya. Misalnya, bagi anak yang mulai remaja hingga menganjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan kalau belum menikah dikatakan belum sempurna sebagai manusia atau de�pa nabbatang tau/edp nbt tau. Sedangkan bai laki-laki taua perempuan yang berusia lanjut dan tidak pernah menikah dikatakan pohon yang tidak berbuah atau nawelaini uwae/newlainiauwea.
Pernikahan itu dianggap bersifat sakral dan ukhrawi bukan diangap hanya bersifat duniawi. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi seseorang karena pernikahan itu merupakan babak baru dalam menempuh kehidupan untuk membentuk keluarga yang merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat.
Masyarakat Bugis, bagi orang tua yang telah berhasil menikahkan anaknya baik laki-laki maupun wanita, mereka merasa gembira dan beruntung karena sudah terlepas dari tanggung jawabnya sebagai orang tua dan selalu mengatakan �mabbatang tauni anakku�/mbt tauni ankuatau anakku telah menjadi manusia sempurna. Berdasarkan uangkapan tersebut, timbul suatu kesan bahwa bagi anaknya yang mulia dewasa dan belum menikah, dianggap belum menjadi manusia sempurna atau masih manusia welangpelang/ewlepl.
Berdasarkan hal tersebut diatas menjadi alasan utama penulis mengangkat sebuah tulisan yang berjudul �Adat dan Pernikahan Suku Bugis�.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Proses Upacara Pernikahan Suku Bugis?
2.      Apa makna dari berbagi prosesi dan peralatan yang digunakan dalam upacara pernikahan Bugis?








C.     Pengertian pernikahan
            Pernikahan artinya akad atau ikatan lahir batin di antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang halalnya pergaulan sebagai suami-istri dan sahnya hidup berumah tangga dengan tujuan membentuk keluarga sejahterah.[1] 
D.    Tujuan Penikahan
            Tujuan pernikahan pada masyarakat Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Kalau orang Makassar mengatakan terhadap orang yang mau dinikahkan lanipatutukmi ulunna salangganna/lniptutumi aulun slgn, maka orang Bugis mengatakan elokni ri pakkalepu/ealoni ri pkelpumaksudnya akan diutuhkan. Jadi, orang yang belum kawin dianggap belum utuh.[2] 
E.     Usia pernikahan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.  Hal ini dimaksudkan agar kedua mempelai tersebut memiliki kematangan dalam mengarungi  bahtera rumah tangga , agar dia mampu memenuhi tujuan yang luhur dari suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang sehat jasmani dan rohaninya serta memiliki akhlak yang mulia.[3]


F.      Jenis-jenis pernikahan:
a.       Perkawinan dengan peminangan
Perkawinan yang dilaksanakan dengan peminangan ini berlaku secara turun temurun bagi masyarakat Bugis-Makassar yang bersifat umum, baik golongan bangsawan maupun golongan masyarakat biasa. Perbedaan hanya dari tatapelaksanaannya, bagi golongan bangsawan, melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu. Sedangkan bagi golongan masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana sesuai kemampuannya.

b.      Pernikahan Ideal
Pernikahan ideal pada masyarakat Bugis terjadi jika seorang laki-laki maupun perempuan mendapat jodohnya dalam lingkungan keluarganya, baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah.
Pernikahan dalam lingkungan keluarga makin mempererat hubungan kekeluargaan (kekerabatan).
a)      Siala massapposiseng / sial msposiesialah nikah antar sepupu sekali. Pernikahan ini juga disebut pernikahan assialang marola /asial mrol.
b)      Siala massappokadua/sial mspokduaialah nikah antarsepupu dua kali. Pernikahan ini biasa disebut assiparewesenna/ asiperesn.Artinya kembali ke kekerabat.
c)      Siala massappokatellu/sialmspoketluialah nikah antarsepupu ketiga kali. Pernikahan ini disebut juga pernikahanripasilosengngi /ripsiloesngi atau rioaddeppe mabelae/riaoaedep. Artinya, menghubungkan kembali kekerabatan yang agak jauh.


c.       Perkawinan dengan silariang (kawin lari)
Perkawinan dengan silariang dilaksanakan tidak diawali dengan peminangan, tetapi kedua belah pihak sudah sepakat untuk lari ke rumah penghulu atau imam untuk meminta perlidungan, selanjutnya dinikahkanlah oleh penghulu atau imam.
Kawin lari terjadi jika keluarga perempuan menolak pinangan pihak laki-laki. Tolakan pinangan itu biasanya terjadi karena keluarga pihak perempuan memandang calon pasangan anaknya tidak cocok atau tidak pantas. Hal itu disebabkan berbagai kemungkinan, antara lain:
a)      Laki-laki berasal dari keturunan lapisan masyarakat yang lebih rendah dari pada perempuan.
b)      Laki-laki itu dianggapnya sebagai orang yang kurang sopan, tidak mematuhi adat-istiadat sehingga laki-laki tersebut digolongkan sebagai orang yang ceroboh.
c)      Anak perempuan terlebih dahulu sudah ripasitaro/ripsitro. Artinya, sudah dipertunangkankan lebih dahulu dengan remaja lain pilihan orang tuanya. Biasanya dari kalangan kerabat sendiri.

Kawin lari dapat dibedakan atas tiga jenis:
1)      Silariang/silria
Silariang/silriaberarti sama-sama lari atas dasar kehendak bersama setelah mengadakan mufakat untuk lari secara rahasia. Keduanya menetapakan waktu untuk bersama-sama menuju ke rumah penghulu adat (ama/kadi). Keduanya meminta untuk dilindungi dan selanjutnya minta untuk dinikahkan.



2)      Rilariang/rilria
Rilariang/rilria berarti dilarikan. Laki-laki memaksa perempuan ke rumah penghulu adat untuk minta dilindungi selanjutnya minta untuk dinikahkan.

3)      Elo Ri Ale/ ealo ri ael
Elo Ri Ale/ealo ri ael artinya melarikan diri. Pernikahan terjadi karena perempuan dating sendiri kepada pihak laki-laki minta untuk dinikahi atau perempuan ke rumah penghulu adat untuk minta dinikahkan dengan laki-laki tertentu yang telah dipilihnya.

d.      Perkawinan yang dilarang
Pada zaman dahulu sampai sekarang dalam masyrakat pada umunya, ada perkawinan yang dilarang oleh adat, tidak terkecuali dalam masyarakat Bugis melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat seperti:
a)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui ayah maupun ibu.
b)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkan darinya (anak/cucu/cicit) baik keturunan anak wanita.
c)      Seorang pria dilarang kawin dengan wanita  dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung/anak dari saudara kandung).
d)        Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/ibu, saudara kandung kakek/nenek baik dari ayah maupun dari ibu)
Berdasarkan hal tersebut diatas berate seorang laki-laki dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah tanpa batas.[4]

G.    Pembatasan Jodoh
            Dalam masyarakat, dikenal adanya pelapisan masyarakat. Ada golongan bangsawan dan ada pula golongan bukan bangsawan. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pembatasan jodoh, bahkan terdapat hubungan perkawinan yang terlarang. Misalnya terjadinya pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan karena batas kedudukan yang tidak sejajar. Pada zaman lampau, hubungan antara anak keturunan bangsawan dengan orang biasa sangat tertutup. Kalau terjadi pelanggaran, disebut lejjak sung tappere/elj su teper, artinya menginjak sudut tikar.
            Hukuman bagi pelanggar adat nikah disebut riladung/rildu atau rilamung/rilmu. Maksudnya, bahwa kedua pelanggar tersebut hukuman berat, yaitu keduanya ditenggelamkan ke dalam air. Namun, terdapat juga hal yang memungkinkan terjadinya pernikahan dari golongan yang tidak sederajat karena laki-laki mempunyai keistemewaan tertentu, seperti sifat keberanian dan ketangkasan. Mereka dikenal sebagai towarani/towrni�gagah berani�. itu dihargai dan dipandang sebagai orang terhormat. Kelebihan lain adalah orang yang tergolong cendikiawan atau pemimpin-pemimpin agama.

H.    Syarat-syarat untuk Nikah
Seorang laki-laki yang akan kawin lebih banyak persyaratan yang harus dipenuhi dibandingkan dengan seorang perempuan. Selain dari persyaratan umum, terdapat pula persyaratan khusus bagi laki-laki, yaitu naullebi mattulilingi dapurengnge wekka pitu/naeulbi mtuliligi dpurneg ewk pituu, �ia harus mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali�. Dapur adalah temapat memasak semua kebutuhan makanan dan sebagainya semuanya harus diproses melalui dapur.
            Makna ungkapan ini adalah seorang laki-laki barulah dianggap matang untuk kawin bila ia mampu memperoleh atau mengadakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani.
            Penanggung jawab utama dalam rumah tangga adalah laki-laki, termasuk keamanan dalam rumah tangga. Seorang suami diharuskan mengetahui bagaimana membina rumah tangga dan terutama keselamatan istri dan anaknya. Disamping itu calon mempelai laki-laki yang berasal dari daerah lain atau luar daerah, maka diharuskan membayar pallawa tana/plw tn.

I.       Upacara Sebelum Pernikahan
Tata Cara Peminangan
            Dalam hal peminangan jodoh, orang Bugis lebih mengutamakan lingkungan kerabat, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Biasanya, orang tua laki-laki mengadakan kesepakatan dengan orang tua wanita yang dipilihnya. Wanita itulah yang akan dijodohkan dengan anaknya.
            Setelah orang tua menentukan wanita yang akan menjadi calon menantunya, dimulailah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perjodohan itu. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai berikut:
a.       Mapessek-pessek/ mepes-pese
Mapessek-pessek/mepes-pese atau mammanu-manu/mmnu-mnu adalah suatu cara untuk mengetahui sudah terikat atau tidaknya seorang gadis yang telah dipilihnya dan untuk mengetahui kemungkinan diterima atau tidaknya peminangan nanti. Untuk itu, diutusnyalah orang yang dipercayainya untuk mengadakan penyelidikan dengan cara mendekati keluarga gadis secara langsung. Pemyelidikan itu biasanya berasala dari keluarga terdekat gadis yang dianggap cukup mbengetahui gadis itu dan orang tuanya. Kalau belum ada yang mengikatnya, langkah selanjutnya adalah mengutus beberapa orang terpandang untuk menyampaikan lamaran.

b.      Madduta/ mdut
Madduta/mdut adalah pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang telah disepakati oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan itu harus orang yang tuakan dan tahu seluk beluk madduta/mdut. Ia harus pandai membawa diri agar keluarga perempuan tidak merasa tersinggung.
Duta berhadapan langsung dengan orang tua atau wakil orang tua perempuan yang dilamar. Pembicaraannya tidak langsung menyentuh soal lamaran. Duta harus bersikap meyakinkan dan mampu tampil dengan nada pembicaraan yang halus sehingga pihak keluarga perempuan akan mengerti maksud kedatangannya.
To madduta/tomdutbiasanya menyampaikan pembuka kata dan maksud kedatangannya dengan ungkapan-ungkapan. 
Berikut ini salah satu contoh dialog antara To Madduta/ to mdut dengan To Riaddutai/to riadutai:
To Madduta : Duami luala sappo, unganna panasae belona kanuku/duami lual spo, aungn pnsea eblon knuku. (Hanya dua yang menjadi tumpuan kami, kejujuran dan hati yang bersih).
                                 Iyaro bunga rositta tepu tabbaka toni, engkanaga sappona/aiyro buG rosit etpu tbk toni, eakng spon. (kembang ros itu cukup mekarlah, apakah sudah ada yang melindunginya?)
To Riaddutai : Dekga pasa ri kampotta, balanca ri liputta mulinco mabela/edg ps ri kpot, blc ri liput mulico mebl. (Apakah tidak ada gadis di negeri Bapak sehingga jauh Bapak mencari).
To Madduta : Engka pada ri liputta, balanca ri kampotta, nekiya nawami kusappa/eak pd ri liput, blc ri kpot, enkiy nwmi. (Ada juga gadis di negeri kami, tetapi yang kucari adalah hati yang suci/budi pekerti yang baik).
To Riaddutai : Iganaro elo ri bungata, bunga temmaddaunnge, temmattake/aignro ealo ri buGt, buG etmdaueG, etmtwk. (Siapa yang ingin pada anak kami yang tidak punya pengetahuan sedikitpun).
To Madduta: Taroni temmadaung, temmatakke/troni etmdau, etmtek. (Biarlah tidak tahu apa-apa, karena perhiasan yang tak kunjung layu, akan kuhadikan pelita hidupku).
Setelah pihak perempuan mendengar niat suci To Madduta/to mdut, dengan segala kerendahan hati ia berkata: Narekko makkonitu adatta, soroni tangngaka, nakutangnga tokki/nerko mkonitu adt, soroni tGk, nkutG toki. (Kalau begitu tekad tuan, kembalilah pelajari saya dan saya pelajari tuan).
Dapatlah disimpulkan bahwa maksud baik  To Madduta/to mdut  diterima baik oleh pihak To Riaddutai/to ridutai. Artinya, pihak perempuan menerima dengan baik lamaran pihak laki-laki. Namun, tentunya masih banyak hal yang bersangkut paut dengan pelaksanaan pernikahan yang perlu dimusyawarahkan lebih lanjut agar dapat diperoleh kata sepakat. Misalnya, hal tentang uang belanja, hari pernikahan, dan uang mahar. Untuk itu, baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki masih perlu bermusyawarah dengan keluarga masing- masing.

c.       Mappettu Ada/meptu ad
Walaupun pihak perempuan sudah bersedia menerima lamaran pihak laki-laki, pihak perempuan masih perlu bermusyawarah maksud kedatangan to madduta/to mdut. Orang tua perempuan berusaha menemui keluarga terdekatnya untuk memberitahukan hal tersebut. Setelah mereka sepakat untuk menerima baik lamaran pihak laki-laki, ditetapkanlah hari pelaksanaan mappettu ada/ meptu ad.
Dalam acara mappettu ada/meptu ad(memutuskan kata sepakat), dibicarakan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara pernikahan, yang antara lain meliputi hal-hal berikut.

a)      Tanra Esso/tr easo(Penentuan Hari)
Penentuan acara puncak atau pesta hari pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa factor, seperti waktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga pada umumnya. Jika pihak keluarga, baik laki-laki atau perempuan, berstatus petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada musim padi, biasanya hari yang dipilih adalah hari sesudah tanam padi atau sesudah panen. Disamping itu jug lebih ba dipertimbangkan hari lahir perempuan karena yang lebih banyak menetukan hari jadi pernikahan/pesta adalah pihak perempuan.

b)      Balanca/blc(Uang Belanja)
Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan kelaziman atau kesepakatan lebih dahulu antaranggota keluarga yang melaksanakan pernikahan. Misalnya, ada yang menyerahkan uang belanja itu sepenuhnya kepada pihak laki-laki sesuai dengan kemampuannya. Hal itu dapat terjadi karena adanya saling pengertian yang baik dari kedua belah pihak.

c)   Sompa/sop
Sompa/sop atau mahar adalah barang pemberian, dapat berupa uang atau harta dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita untuk memenuhi syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa/ sopini diucapkan  oleh mempelai laki-laki pada saat akad nikah.
      Menurut  adat, jumlah sompa/ sop atau mahar itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan social bangsawan atau bukan bangsawan. Disamping itu, sompaitu berbeda pula pada setiap daerah.
Sompa itu dinilai dengan mata uang lama yang disebut kati/kti. Nilai 1 kati/ kti, sesuai dengan nilai uang lama adalah 88 real + 8 orang + 8 doi serta 1 orang ata dan 1 ekor kerbau. Sekarang ini, 1 kati/ kti bernilai Rp 100.000 � Rp 200.000.  
Ata/atartinya budak. Ata/ at yang diperjualbelikan pada masa dahulu. Sekarang ini tidak ada lagi perbudakan karena hal itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, khususnya tentang aspek perikemanusiaan.

d)  Mappasiarekeng/mpsiaerek dan Mappaenre Balanca/mpeaer blc
Ada orang yang menggabungkan upacara mappasiarekeng/ mpsiaerek dan mappaenre Balanca/ mpeaer blc dengan upacaramappettu ada/meptu ad. Hal itu tergantung pada kemampuan, kesempatan dan kesepakatan antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak kelearga perempuan.
Rombongan mappasiarekeng (mpsiaerek)/ mappaenre balanca (mpeaer blc) terdiri atas laki-laki dan perempuan yang masing-masing berpakaian adat dan dipimpin oleh orang tua dengan berpakaian jas hitam tertutup leher (jas tattutu/ttutu). Rombongan pihak laki-laki disambut oleh pihak perempuan. Masing-masing pihak berpakaian adat. Rombongan pihak laki-laki membawa barang-barang berikut:
1)      7 ikat daun sirih (tiap ikat berisi 7 lembar)
2)      7 ikat pinang merah
3)      7 biji gambir
4)      7 ungkus kapur
5)      7 bungkus tembakau
Selain barang-barang tersebut, dibawah pula barang-barang berikut:
1)      1 cincin
2)      1 atau 2 lembar baju dan sarung.
Setelah mereka duduk dengan tenang, mereka kemudian mengulangi hasil pembicaraan yang telah disepakati pada saat mappettu ada/meptu ad. Satu demi satu keputusan terdahulu dibacakan kembali. Setelah semuanya dimantapkan, mereka berjbat tangan. Selanjutnya, mereka mengucapkan doa kepada Allah Yang Mah Kuasa. Acara itu dipimpin oleh seseorang yang dituakan oleh pihak mempelai wanita. Berikutnya, barang-barang dan perhiasan itu diserahkan kepada pihak mempelai wanita.
Pada saat mappasiarekeng/mpsiaerekitu, ada kalanya pihak keluarga laki-laki sudah menyerahkan uang belanja kepadda pihak keluarga wanita sesuai dengan yang telah disepakati bersama. 

J.       Waktu Pelaksanaan Pernikahan
a.       Mappasau/mpsau
      Menjelang hari pesta penikahan, calon pengantin wanita mendapatkan perawatan yang disebut mappasau/ mpsau(mandi uap). Peralatan mappasau/ mpsauberupa sebuah belanga yang terbuat dari tanah. Belanga tersebut berisi air yang bercampur ramuan daun baka/bk, daun calloppeng/cloep, daun padang/pd, rempa patappulo/erp ptpulo, dan akar-akar yang harum.
      Tempat memasak ramuan-ramuan itu ialah rumah bagian belakang yang dianggap aman dan tidak dilewati banyak orang. Belanga yang berisi air dan ramuan itu diletakkan di atas tungku. Mulut belanga ditutup dengan batang pisang, kemudian dipasangi pipa bambu yang tegak sampai di lantai rumah tempat duduk calon pengantin yang akan mappasau/ mpsau.
Sekitar empat puluh hari sebelum calon pengantin mappasau/ mpsau, calon pengantin itu diharuskan selalu memakai bedak basah atau lulur yang terbuat dari beras rendaman bercampur kunyit dan akar-akar harum yang kemudian ditumbuk halus.
Menjelang mappasau/ mpsau, calon pengantin memakai bedda lotong/ebd loto (bedak hitam) yang terbuat dari beras ketan hitam yang digoreng sampai hangus yang kemudian dicampur dengan asam jamu dan jeruk nipis. Bedak itu digosokkan ke seluruh tubuh.
Pada waktu mappasau/ mpsau, bedak itu akan meleleh sehingga kulit calon pengantin kelihatan bersih dan kuning langsat.
Air yang akan digunakan untuk mappasau/ mpsaudipanaskan sampai mendidih. Saat air mendidih, dikeluarkanlah ramuan yang akan digunakan. Setelah air mendidih, ramuan itupun berbau harum.
Pada waktu itu, calon pengantin yang sudah memakai bedda lotong/ebd lotoduduk diatas mulut terowongan bambu yang sudah dibuka penutupnya. Oleh karena itu uap yang keluar melalui mulut bambu itu sangatn panas, mengalirlah keringat yang keluar dari seluruh tubuh calon pengantin. Seluruh badannya menjadi bersih dan perasaannya menjadi segar dan nyaman sehingga ia dapat bertahan duduk saat menyelesaikan rangkaian acara pernikahan.
Setelah selesai melakukan kegiatan mappasau/ mpsau, calon pengantin dimandikan dengan berbagai macam daun dan bunga itu antara lain sebagai berikut.

a)      Daun sirih yang merupakan simbol �siri��/siri 
b)      Daun serikaya = symbol kekayaan
c)      Daun tebu = manis
d)     Daun waru = subur dan rimbun
e)      Daun tabaling/tbli = bermakna jika dating hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal tersebut akan berbalik kembali ke asalnya.[5]
f)       Bunga cabberu/cebru = bermakna agar calon pengantin senantiasa berwajah cerah
g)      Bunga canagori/cngori = bermakana agar calon pengantin selalu menonjol/utama dan kuat
h)      Mayang/my pinang yang masih kuncup berfungsi mengusahakan pengantin dapat hidup sejahterah dan mendapatkan keturunan.

b.      Mappacci/mpci
      Upacara mappacci pada hakikatnya termasuk dalam acara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan maknanya, upacaramappacci ini dapat pula digolongkan ke dalam acara merawat pengantin di jaman dahulu di kalangan bangsawan. Upacara mappaccidilaksanakan dalam tiga hari secara berturut-turut. Sekarang, upacara ini hanya dilaksanakan dalam satu malam, yakni pada malam hari pesta perkawinan.
      Mappacci barasal dari kata paccing yang berarti bersih. Mappacci berarti membersihkan diri. Maksudnya agar calon pengantin itu terhindar dari segala sesuatu yang dapat menghambat acara pernikahan. Selain itu, calon pengantin  dalam hati yang bersih menghadapi segala rangkaian pernikahan termasuk pula bersih diri dalam mengarungi hidup berkeluarga.
      Acara mappaccidisebut juga acara tudampenni yang dilakukan di rumah masing-masing kedua calon mempelai. Sebelum acara tudampenni terlebih dahulu diadakan upacara pengambilan pacci disebut malekke pacci/melek pci. Pelaksanaannya dilakukan pada sore hari di rumah orang-orang tertentu. Kalau calon pengantin itu dari golongan keturunan bangsawan, maka tempat malekke paccijuga di istana raja. Kalau calon pengantin itu dari golongan keturunan orang biasa atau orang kebanyakan, maka tempat pengambilan pacci adalah di rumah kerabat terdekat yang dituankan.
      Rombongan palekke pacci/pelek pciini terdiri atas wanita dan laki-laki tua dan muda. Setiap palekke pacci itu menggunakan pakaian adat lengkap. Iring-iringan rombongan palekke pacci terdiri atas:
a)      Pembawa tombak
b)      Pembawa tempat sirih
c)      Pembawa hidangan kue-kue adat yang tersimpan dalam bosara
d)     Pembawa tempat pacci dan dipayungi dengan lellu/ellu
e)      Pembawa alat-alat bunyi-bunyian berupa gendering, gong, beccing, dan lain-lain.
            Penyuguhan sirih merupakan penghargaan bagi raja karena pada masa dahulu, raja-raja itu memakan sirih. Istilah sirih, termasuk bahan kelengkapan lainnya, seperti daun sirih, buah pinang, kapur, dan gambir. Kelengkapan lainnya seperti daun tembakau. Daun tembakau didiris halus-halus kemudian dikeringkan. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi dewasa ini acara malekkepacci ini tidak lagi diadakan tetapi langsung saja mengambil daun pacci di pohon pacci.
            Dalam upacara mappacci secara simbolik digunakan daun pacci dan barang-barang lain seperti berikut.
1)      Bantal (angkangulung/akGulu), adalah pengalas kepala, disimbolkan sebagai harkat/kehormatan yang harus dijaga dan dihormati �ipakalebbi�/ipkelbi.
2)      Sarung sutera (lipa sabbe/lip seb), sarung adalah sebagai pembungkus /penutup badan yang mengandung makna harga diri dan moral. Sarung juga melambangkan ketekunan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh calaon mempelai putri (ini tempo dulu). Pada umumnya jumlah sarung adalah 7 helai. Jumlah tujuh melambangkan hasil pekerjaan yang baik �mattuju�/mtujubesar sesuai status (stratifikasi social calon mempelai) ada yang sembilan lembar dan bahkan sebelas lembar.
3)      Pohon pisang lengkap dengan daunnya, daun pisang melambangkan kehidupan yang sambung menyambung. Daun yang tua belum kering betul, daun muda telah muncul untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya dalam bahasa Bugis maccolli maddaung/mcoli mdau.
4)      Daun nangka (panasa/pns), daun nangka dihubungkan dengan kata maminmasa/mmimsberarti harapan atau cita-cita. Disini digunakan 2�7 atau duakkapitu daun panasa/duakpitu dau pnsmengandung arti �semoga hidup yang akan dilalui membuahkan�, sebagaimana yang diharapkan/dicita-citakan. Diatas daun panasainilah calon mempelai melatakkan kedua tangannya untuk mengharapkan doa restu dan mereka yang diundang dan meletakkan pacci/pcidiatas telapak tangannya dimulai tangan kanan/kemudian tangan kiri, kanan= tau/tauartinya manusta, kiri = abio/abiao, dianggap tidak etis (majora/mjor). 
5)      Pesse pelleng/epes epelatau lilin yang sedang dinyalakan, memiliki arti member sinar pada jalan yang akan ditempuh oleh calon mempelai. Selain itu sebelum ada lilin digunakan pula tai bani/tai bni yang berasal dari sarang lebah, dikaitkan dengan tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, serta sekata-kata sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan lebah. Mereka tidak saling mengganggu satu sama lain. Selalu rajin dan ada kerja sama yang baik serta harmonis. Namun, apabila ada musuh dari luar yang datang mengganggu, mereka akan serentak menyerang dan menyengat.
6)      Berondong atau benno/ebnoberas yang dihamburkan sebanyak tiga kali, mengandung suatu harapan dan doa agar calon mempelai dapat mekar berkembang serta murah rezeki di kemudian hari, disebut mappenno rialei/mepno riaelai.
7)      Daun pacci/pci (daun inai), tersimpul kata paccing/pciatau bersih.
            Melaksanakan upacara mappacci/mpcimenjelang akad nikah berarti bahwa calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki kehidupan rumah tangga.
1)      Mappaccing ati/mpci ati(bersih hati)
2)      Mappaccing nawa-nawa/mpci nw-nw(bersih pikiran)
3)      Mappaccing pangkaukeng/mpci pkauek (bersih/baik tingkah laku/perbuatan)
4)      Mappaccing ateka/mpci aetk(bersih itikat)[6]
            Setelah peralatan mappacci/mpcidisiapkan, calon pengantin didudukkan di pelaminan. Jika calon pengantin dari golongan bangsawan dipakaiakanlah lellu/elluyang dipegang oleh 4 orang remaja yang berpakaian adat. Jika calon pengantinnya laki-laki, lellu/ellitu dipegang oleh 4 orang remaja laki-laki yang memakai sarung putih dan songkok putih. Didepan pengantin, dileyakkan sebuah bantal sebagai alas. Diatas bantal, disusun 7,9, atau 11 lembar sarung sutera. Diatas sarung, diletakkan daun pisang. Diatas daun pisang diletakkan daun nangka. Peralatan itu disusun demikian sebagai wadah peletakan kedua tangan calon mempelai yang siap dipasangkan/di-pacci/pci.
            Dahulu, pembacaan dzikir atau barazanji dilaksanakan bersama-sama dengan upacara mappacci. Pelaksanaannya setelah pembacaan doa selamat, penghulu syara berzikir. Pada saat sampai pada bacaan �asyaraka�, orang-orang berdiri. Pada saat itu dimulailah peletakan pacci/pci.
            Kemudian, secara berturut-turut orang membubuhkan pacci pada telapak tangan pengantin yang duduk diatas lamming/lmi. Orang yang pertama memasangkan pacci/pcbiasanya dipercayakan kepada pemuka masyarakat atau pajabat setempat kemudian disusul oleh orang lain.
            Dahulu, oleh karena pada umumnya calon pengantin belum saling mengenal, pada malam sebelum acara mappacci/mpci, calon pengantin laki-laki dengan berpakaian lengkap diantar ke rumah mempelai wanita itu. Acara yang demikian disebut mattuduk majjareng/mtudu mjer. Pada saat itu, calon pengantin wanita dengan berpakaian lengkap duduk diatas pelaminan. Lalu, diadakanlah upacara mappanre dewata/mper edwt dengan suguhan sokko patanrupa/soko ptrup (nasi ketan 4 macam warna) bersama dengan lauk pauknya. Pada saat upacara itu, taibani/taaibni atau lili menyala terus dan gendang juga berbunyi terus hingga acara selesai.
            Dewasa ini, pelaksanaan upacara mappacci/mpcisering tidak bersama-sama dengan pembacaan zikir, perubahan zaman menyebabkan hal itu terjadi. Orang yang membubuhkan pacci/pcibiasanya dalam juumlah ganjil, misalnya, 7,9,atau 11orang. Orang yang terakhir yang membubuhkan pacci/pciadalah imam. Imam tersebut sekaligus bertindak sebagai pembaca doa.

K.    Mappaenre dan Mapparola
1.      Peralatan Upacara Selamatan dalam Pernikahan
Alat-alat yang perlu disiapkan dalam rangkaian upacara pernikahan sebagai berikut:
a.       Uang belanja
b.      Alat bunyi-bunyian, seperti genderang, kancing, gong, dan pui-pui
c.       Lisek kawin (lies kwi)/lisek sompa (lies sop), seperti kunyit, buah pala, reppak pammutu/erp pmutu, aju cenning/aju ecni,dan kemiri
d.      Sokko/soko bersama dengan palopo/plopo
e.       Buah-buahan, seperti pisang, tebu, durian, kelapa, nangka dan nenas
f.       Tombak (bessi), payung, dan lain-lain
g.      Walasuji/wlsuji dan sebagainya.

2.      Proses Pelaksanaan Pernikahan
a.       Mappada (mpd)/Madduppa (mdup)
            Dalam rangka pelaksanaan  pernikahan, pihak keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki perlu memberikan informasi kepada seluruh keluarga, teman, sejawat, dan handai tolan.
            Acara pemberian informasi secara lisan disebut madduppa/mdup, ,mappada/mpd, mappaisseng/mpaies, atau mattampa/mtp. Hal itu dilaksanakan oleh beberapa orang perempuan maupun laki-laki yang berasal dari anggota keluarga, seperti ibu, bibi, dan saudara terdekat. Yang diduppai/didupaidalah pemuka masyarakat dan pejabat negeri. Padduppa/pdup  itu berpakaian adat. Padduppa/pdup laki-laki memakai songkok (songkok pamiring/soko pmiri).
            Pengedaran undangan diusahakan paling lambat 3 hari sebelum pesta pernikahan dan paling cepat sepuluh hari sebelum pernikahan.
1.      Massarapo(msrpo)/Massompung Bola (msopu bol)
             Untuk menampung undangan keluarga dan undangan resmi, sebelum pesta pernikahan berlangsung, dibuatlah bangunan tambahan disamping, di muka, atau di belakang rumah. Kegiatan itu disebut massompung bola/ msopu bolataumassarapo/ msrpo. Bahkan, ada yang membangun gedung tersendiri di halaman rumahnya. Gedung itu disebut baruga. Bangunan itu diberi pagar bambu. Pagar yang demikian disebut walasuji/wlsuji. Ditengah-tengah bangunan itu didirikan lamming/lmiyang merupakan tempat duduk pengantin bersama pengiringnya. Tempat itu penuh dengan hiasan yang beraneka bentuk dan warnanya.

2.      Mappaenre Botting/mpaeer boti
              Saat yang dinanti, baik oleh pihak perempuan maupun pihak laki-laki adalah hari pelaksanaan pernikahan. Hari tersebut disebut esso appabbottinge/esso apbotiatau mata gauk/mt gau (puncak acara). Hari itu disebut pula dengan hari mappaenre botting/mpeaer boti. Orang yang mengantar pengantin laki-laki ke rumah perngantin perempuan disebut mappaenre botting/ mpeaer boti atau penugantara botting/epnugtr boti. Pengantin laki-laki bersama dengan pengiringnya baru berangkat setelah ada penjemput (padduppa/pdup) dari keluarga perempuan. Rombingan penjemput ini biasanya berjumlah empat, delapan orang atau lebih yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Mereka berpakaian adat. Di rumah pengantin perempuan, telah siap pula kelompok penjemputbaik yang ada di dalam maupun di luar rumah. Kemudian seorang perempuan tua berdiri di depan pintu sambil menebarkan beras kea rah pengantin laki-laki pada waktu ia mulai menginjak anak tangga. Pengantin itu kemudian dituntun menuju lamming/lmi yang sudah disediakan.




3.      Akad Nikah dan Mappasikarawa/mpsikrw
            Akad nikah dimulai dengan berdasarkan tuntunan wali atau imam yang dipercayakan sebagai wakil orang tua pengantin perempuan.[7]Setelah acara mengucapkan akad nikah (ijab qabul), maka pengantin dituntun oleh seorang laki-laki berpengalaman masuk ke kamar mempelai wanita untuk makkarawa/mkrw(memegang) bagian-bagian tubuh mempelai wanita sebagai tanda bahwa keduanya telah sah untuk bersentuhan. Tetapi menurut kebiasaan, pemegang kunci pintu kamar mempelai wanita tidak akan membuka pintu sebelum diberi uang oleh pengantar yang disebut pattimpe tange�/ptiep teG (pembuka pintu). Begitu pula ketika mempelai laki-laki telah berada dalam kamar, tidak akan dibukakan kelambu sebelum mengeluarkan uang yang disebut oleh pattimpa boco/ptip boco (pembuka kelambu). Setelah semuanya dipenuhi oleh pangantar mempelai laki-laki, barulah mempelai laki-laki diperkenankan duduk dekat mempelai perempuan.
            Menurut kebiasaan ambo botting/abo botiatau pengantar mempelai laki-laki berusaha untuk menggerakkan memepelai laki-laki agar dapat menyentuh bagian tubuh mempelai perempuan yang dianggap memiliki makna simbolis. Misalnya, ubun-ubun mempelai perempuan atau bagian leher dengan harapan setelah menjadi istri yang sah akan patuh pada suaminya. Ada pula yang dibagian perut, dengan harapan kehidupannya kelak tidak akan mengalami kesulitan. Oleh masyarakat Bugis, meyakini bahwa sentuhan pertama sang suami akan menetukan berhasil tidaknya membina rumah tangga dikemudian hari.
            Setelah acara makkarawa/mkrw, kedua mempelai dililit dengan selembar kain kemudian keduanya berlomba untuk berdiri. Menurut keyakinan jika mempelai laki-laki berdiri lebih dulu, maka istri akan tunduk kepadanya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam acara ini baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan selalu berusaha untuk saling mendahului.

4.      Millau Dampeng/milau dep
            Setelah acara mappasikarawa/msikrwselesai, maka kedua mempelai keluar dari kamarnya lalu dituntun, ke kedua orang tua pengantin perempuan untuk memohon maaf �millau dampeng�/milau dep dan mohon restu kepada kedua orang tua pengantin perempuan dan seluruh keluarga yang sempat hadir atas hidup baru kedua mempelai. Selanjutnya kedua pengantin diantar menuju ke pelaminan untuk bersanding menerima ucapan selamat dan doa restu dari tamu dan keluarga yang hadir. Acara ini berlanjut samapi malam hari.     

5.      Mapparola/mpril
            Mapparola/ mprildalam pernikahan Bugis yaitu merupakan kunjungan mempelai perempuan ke rumah mempelai pria.[8]Pelaksanaannya biasanya stelah acara akad nikah atau keesokan harinya dengan pakaian seperti pada pernikahan pada hari sebelumnya. Pesta pernikahan tersebut berpindah dari rumah mempelai laki-laki yang dihadiri oleh para undangan. Sebagai tanda syukur pihak mempelai perempuan.
            Di acara marola kedua mempelai diantar masuk kediaman mempelai laki-laki sambil menunggu kedatangan kedua orang tua, keluarga dan sepupu mempelai laki-laki duduk berjejer kemudian kedua mempelai mendatangi kedua orang tua laki-laki memberikan salam dan berjabat tangan atau dikenal dengan istilah millau dampeng/milau dep. Diacara marola mempelai perempuan menyodorkan sarung sebagai tanda ungkapan terima kasih kepada kedua orang tua, keluarga mempelai dengan memberikan cendera mata berupa kalung, gelang, cincin, atau uang dalam amplop yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga mempelai laki-laki dan kedua mempelai diarahkan untuk duduk dipelaminan yang telah disediakan. Para tamu dipersilahkan  untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh keluarga mempelai laki-laki.
            Dengan selesainya prosesi tersebut, maka selesailah sudah rangkaian acara pernikahan dan kedua pasang suami istri memulai hidup baru.  
















L.     Kesimpulan
Pernikahan bagi masyarakat Bugis sangatlah penting karena mereka menganggap pernikahan bukan hanya sekedar urusan dunia tetapi sesuatu yang sangat sakral. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi seseorang karena pernikahan itu merupakan babak baru dalam menempuh kehidupan untuk membentuk keluarga yang merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat.
Begitu pentingnya pernikahan sehingga dikalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dikenal dengan ungkapan yang dialamatkan bagi orang yang belum mendapatkan jodoh untuk elangsungkan pernikahannya. Misalnya, bagi anak yang mulai remaja hingga menganjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan kalau belum menikah dikatakan belum sempurna sebagai manusia atau de�pa nabbatang tau/edp nbt tau. Sedangkan bai laki-laki taua perempuan yang berusia lanjut dan tidak pernah menikah dikatakan pohon yang tidak berbuah atau nawelaini uwae/newlainiauwea.
Prosesi pernikahan suku Bugis memiliki perbedaan dengan prosesi pernikahan suku lain dan perpedaan itulah yang membuat pernikahan suku Bugis memiliki keunikan tersendiri.

M.   Saran
Untuk lebih melestarikan kekeyaan yang dimiliki Sulawesi Selatan khususnya pernikahan suku Bugis perlulah kita tetap melaksanaan semua prosesi sesuai dengan yang dilakukan orang sebelum kita dan diharapkan agar pemerintah dapat menyediakan media yang lebih menarik agar generasi mudah meresa tertarik untuk mempelajari pernikahan suku Bugis.




DAFTAR PUSTAKA

Abustan n alimin. Adat perkawinan masyarakat bugis. Makassar: Telaga zamzam, 2008.
Ahmad, Abd. Kadir. Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Cet. 1; Makssar: Indobis, 2006.
Al-Barik, Haya binti Mubarak. Mausu�ah Al-Mar�atul Muslimah. Terj. Amir Hamzah Fachrudin, Ensiklopedi Enita Muslimah. Cet. 18; Bekasi: Darul Falah, 2012.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang, 1995.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan. Adat dan Upacara  Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Cet. 3; Makassar, 2006.
Nonci. Adat Perkawinan Masyarakat Bugis dan Mandar. Makassar: CV. Aksara.
Nonci. Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis. Makassar: CV. Karya Mandiri Jaya, 2002.
Sapada, Andi Nurhani.  Tata- Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis-Makassar.







[1] Haya binti Mubarak al-Barik, Mausu�ah Al-Mar�atul Muslimah, terj. Amir Hamzah Fachrudin, Ensiklopedi Wanita Muslimah  (cet. 18; Bekasi: Darul Falah, 2012), h. 97.
[2]  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,  Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Cet. 3; Makassar: , 2006), h. 75
[3] Abustan dan Alimin, Adat Perkawinan Msyarakat Bugis (Makassar: ZamZam, 2008), h. 9
[4] Ibid., h. 10
[5] Nonci, Adat Pernikahan Masyarakat Bugis dan Mandar (Makassar: CV. Aksara, ), h. 20.
[6] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,  Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan (Cet. 3; Makassar: , 2006), h. 93.

[7] Op. cid, h.
[8] Abd. Kadir Ahmad. Sistem perkawinan di Sulawesi Selatan danSulawesi Barat (Cet. 1; Makassar: Indobos, 2006), h. 137.

0 komentar:

Posting Komentar